BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Indikasi keberhasilan otonomi daerah adalah adanya
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, kehidupan
demokrasi yang semakin maju, keadilan, pemerataan, serta adanya hubungan yang
serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah. Keadaan tersebut hanya akan
tercapai apabila daerah dapat mengelola pemerintahannya dengan diantaranya
adalah Administrasi Keuangan. Sistem
pengelolaan Keuangan yang baik akan memberikan manfaat pada efektivitas
pelayanan public dengan pemberian pelayanan yang tepat sasaran, meningkatkan
mutu pelayanan publik, biaya pelayanan yang murah karena hilangnya inefisiensi
dan penghematan dalam penggunaan resources,
alokasi belanja yang lebih berorientasi pada kepentingan publik, dan
meningkatkan public costs awareness sebagai akar pelaksanaan pertanggung
jawaban publik.
Pemberian otonomi yang luas dan desentralisasi yang sekarang
ini dinikmati pemeirntah daerah Kabupaten dan Kota, memberikan jalan bagi
pemerintah daerah untuk melakukan pembaharuan dalam sistem pengelolaan keuangan
daerah dan anggaran daerah. Kemunculan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 telah
melahirkan paradigma baru dalam pengelolaan keuangan daerah dan anggaran
daerah. Dalam pengelolaan keuangan daerah, paradigma baru tersebut berupa
tuntutan untuk melakukan pengelolaan keuangan daerah yang berorientasi pada
kepentingan publik (public oriented). Hal tersebut meliputi tuntutan kepada
pemerintah daerah untuk membuat laporan keuangan dan transparansi informasi
anggaran kepada publik.
1.2. Perumusan
Masalah
Belajar
dari pengalaman internasional, pelaksanaan otonomi daerah tidak selalu harus
dibiayai oleh pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri. Namun, secara
pasti dapat dikatakan bahwa apabila semakin maju industri suatu negara maka
pelaksanaan demokrasi akan semakin baik. Penyelenggaraan pemerintahan yang
semakin demokratis akan tercermin dalam pelaksanaan otonomi daerah yang semakin
besar. Pelaksanaan otonomi yang semakin besar tersebut dari aspek keuangan
tercermin dari expenditure ratio yang cenderung semakin besar. Dengan demikian,
keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah dalam suatu negara tidak selalu harus
diukur dari besarnya peranan PAD untuk membiayai seluruh aktivitas pemerintahan
daerah.
Sejalan
dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, kebijakan di bidang pajak daerah dan
retribusi daerah (PDRD) juga perlu diatur dengan Undang-undang sesuai dengan
amanat UUD 1945. Untuk menghindari high cost economy, telah diterbitkan UU
Nomor 18 Tahun 1997 tentang PDRD, kemudian sejalan dengan pelaksanaan otonomi
daerah, telah direvisi dengan UU Nomor 34 Tahun 2000 tentag PDRD.
Prinsip-prinsip yang dianut dalam UU 34/2000 bukan berarti dimaksudkan untuk
menghambat pelaksanaan otonomi daerah tetapi implementasi sistem perpajakan dan
retribusi yang baik dan bersifat universal.
Sesuai
dengan UU 25/1999, perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah dilakukan
melalui Dana Perimbangan (DP) yang terdiri dari:
a) Bagian Daerah dari penerimaan Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Pajak Penghasilan (PPh) Perseorangan, dan Sumber Daya Alam (SDA);
b) Dana Alokasi Umum (DAU);
c) Dana Alokasi Khusus(DAK).
Pelaksanaan
otonomi Daerah secara efektif telah dimulai sejak Januari 2001. Dari sisi
keuangan negara hal tersebut telah membawa konsekuensi kepada perubahan peta
pengelolaan fiskal yang cukup mendasar. Sebagaimana diketahui dalam APBN tahun
2001, total dana yang didaerahkan melalui Dana Perimbangan (DP) adalah sebesar
Rp81,67 triliun.
Pembayaran
tunggakan pinjaman Pemda dan BUMD pada dasarnya merupakan kewajiban daerah
sebagai pihak yang memperoleh manfaat dari pinjaman tersebut.
1.3. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Menjelaskan pengertian administrasi
keuangan daerah, hubungan keuangan daerah dengan keuangan pusat, serta
pengurusan keuangan daerah
2. Menjelaskan pengertian APBD, fungsi
dan prinsip anggaran daerah, struktur APBD, sumber-sumber penerimaan daerah,
belanja daerah, serta pembiayaan daerah
3. Memahami siklus anggaran, khususnya
proses penyusunan APBD, mulai dari penyusunan rancangan hingga penetapan APBD
4. Memahami proses pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban APBD
5. Menjelaskan pengertian penggantian
kerugian daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Keuangan Daerah
Pengertian
keuangan daerah sebagaimana dimuat dalam penjelasan pasal 156 ayat 1
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah sebagai
berikut :
“Keuangan daerah adalah semua hak dan
kewajiban daerah yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang
dan barang yang dapat dijadikan milik daerah yang berhubungan dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”.
Menurut UU No. 17 tahun 2003 Keuangan
Daerah/Negara adalah semua dan
kewajiban Daerah/Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapay dijadikan milik
negara/daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Adapun
ruang lingkup keuangan
daerah meliputi:
1. hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan
pinjaman;
2. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan
pemerintahan daerah
dan membayar tagihan pihak ketiga;
3. penerimaan daerah;
4. pengeluaran daerah;
5. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan
uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan
6. kekayaan pihak lain yang dikuasai
oleh pemerintah daerah
dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum. Rangka
2.1.1. Sistem Informasi Keuangan
Daerah
Sistem Informasi Keuangan Daerah
(SIKD) adalah suatu fasilitas yang diselenggarakan oleh Menteri Keuangan untuk
mengumpulkan, melakukan validasi, mengolah, menganalisis data, dan menyediakan
informasi keuangan daerah dalam rangka merumuskan kebijakan dalam pembagian
dana perimbangan, evaluasi kinerja keuangan daerah, penyusunan Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) serta memenuhi kebutuhan lain, seperti
statistik keuangan negara.
SIKD ini diselenggarakan oleh
pemerintah pusat. Sumber informasi bagi sistem informasi keuangan daerah
terutama adalah laporan informasi APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat
(1) UU Nomor 25 Tahun 1999, yaitu: informasi mengenai pengelolaan keuangan
daerah dan informasi mengenai kinerja keuangan daerah dari segi efisiensi dan
efektivitas keuangan dalam rangka desentralisasi.
Tujuan penyelenggaraan SIKD adalah:
a. membantu Menteri Keuangan dalam
merumuskan kebijakan keuangan daerah;
b. membantu menyediakan data dan
informasi kepada Sekretariat Bidang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
(PKPD) pacla Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah;
c. membantu Menteri Keuangan dan
instansi terkait IainnYa dalam melakukan evaluasi kinerja keuangan daerah,
penyusunan RAPBN, dan kebutuhan lain seperti statistik keuangan negara;
d. membantu pemerintah daerah dalam
menetapkan kebijakar keuangan dan menyusun Rancangan Anggaran Pendapatan dar
Belanja Daerah (RAPBD), pemerintahan, dan pembangunan di Daerah.
2.2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah selanjutnya disingkat APBD adalah suatu rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (UU No. 17 Tahun 2003 pasal 1 butir 8 tentang Keuangan Negara). Semua
Penerimaan Daerah dan Pengeluaran Daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD.
Penerimaan dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan
tugas-tugas desentralisasi.
Sedangkan
penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau
Tugas Pembantuan tidak dicatat dalam APBD. APBD merupakan dasar pengelolaan
keuangan daerah dalam satu tahun anggaran. APBD merupakan rencana pelaksanaan
semua Pendapatan Daerah dan semua Belanja Daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Pemungutan semua penerimaan
Daerah bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Demikian
pula semua pengeluaran daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan
dalam APBD. Karena APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah, maka APBD
menjadi dasar pula bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan
keuangan daerah.
2.2.1. Fungsi-Fungsi Anggaran Daerah
Berbagai
fungsi APBN/APBD sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 3 ayat (4) UU No. 17 Tahun
2003 tentang Keuangan Negara, yaitu :
1. Fungsi Otorisasi
Anggaran
daerah merupakan dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun
yang bersangkutan.
2. Fungsi Perencanaan
Anggaran
daerah merupakan pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun
yang bersangkutan.
3. Fungsi Pengawasan
Anggaran
daerah menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah
daerah sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
4. Fungsi Alokasi
Anggaran
daerah diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya,
serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian.
5. Fungsi Distribusi
Anggaran
daerah harus mengandung arti/ memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan
6. Fungsi Stabilisasi
Anggaran
daerah harus mengandung arti/ harus menjadi alat untuk memelihara dan
mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
2.2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran
Daerah
Prinsip-prinsip
dasar (azas) yang berlaku di bidang pengelolaan Anggaran Daerah yang berlaku
juga dalam pengelolaan Anggaran Negara / Daerah sebagaimana bunyi penjelasan
dalam Undang Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yaitu :
1. Kesatuan
Azas ini menghendaki agar semua
Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen anggaran.
2. Universalitas
Azas ini mengharuskan agar setiap
transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
3. Tahunan
Azas ini membatasi masa berlakunya anggaran untuk suatu
tahun tertentu
4. Spesialitas
Azas ini mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan
terinci secara jelas peruntukannya.
5. Akrual
Azas ini menghendaki anggaran suatu
tahun anggaran dibebani untuk pengeluaran yang seharusnya dibayar, atau
menguntungkan anggaran untuk penerimaan yang seharusnya diterima, walaupun
sebenarnya belum dibayar atau belum diterima pada kas
6. Kas
Azas ini menghendaki anggaran suatu
tahun anggaran dibebani pada saat terjadi pengeluaran/ penerimaan uang dari/ ke
Kas Daerah Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja
berbasis akrual sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 angka 13, 14, 15 dan 16
dalam UU Nomor 17 Tahun 2003, dilaksanakan selambatlambatnya dalam 5 (lima)
tahun. Selama pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan pengukuran berbasis kas.
2.2.3 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
Struktur APBD merupakan satu
kesatuan yang terdiri dari:
1. Pendapatan Daerah
Pendapatan
daerah meliputi semua penerimaan uang melalui Rekening Kas Umum Daerah, yang
menambah ekuitas dana lancar, yang merupakan hak daerah dalam satu tahun
anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh Daerah.
Pendapatan daerah terdiri
atas:
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain pendapatan daerah yang sah.
Pendapatan
daerah, selain PAD dan Dana Perimbangan, adalah Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah yang meliputi hibah,
dana darurat, dan lain-lain pendapatan yang ditetapkan oleh pemerintah. Hibah
yang merupakan bagian dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah merupakan
bantuan berupa uang, barang, dan/atau jasa yang berasal dari pemerintah,
masyarakat, dan badan usaha dalam negeri atau luar negeri yang tidak mengikat.
2. Belanja Daerah
Komponen
berikutnya dari APBD adalah Belanja Daerah. Belanja daerah meliputi semua
pengeluaran dari Rekening Kas Umum Daerah yang mengurangi ekuitas dana lancar,
yang merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran yang tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh Daerah. Belanja daerah dipergunakan dalam
rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau
kabupaten/kota yang terdiri dari urusan
wajib dan urusan pilihan yang
ditetapkan dengan ketentuan perundang-undangan.
Belanja
daerah diklasifikasikan menurut organisasi, fungsi, program dan kegiatan, serta
jenis belanja. Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan
susunan organisasi pemerintahan daerah.
2.3. Penyusunan Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD)
APBD
merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam masa 1 (satu) tahun anggaran
terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD disusun
sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan
daerah. Dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pemerintah melaksanakan
kegiatan keuangan dalam siklus pengelolaan anggaran.
Pada
dasarnya, siklus anggaran terdiri atas empat tahap, yaitu:
1. Tahap
persiapan dan penyusunan anggaran;
2. Tahap
ratifikasi;
3. Tahap
implementasi; dan
4. Tahap
pelaporan dan evaluasi.
2.3.1.
Tahap Persiapan dan Penyusunan Anggaran (Budget Preparation)
Pada tahap persiapan dan penysuunan
anggaran dilakukan taksiran pengeluaran atas dasar taksiran pendapatan yang
tersedia. Terkait dengan masalah tersebut, yang perlu diperhatikan adalah
sebelum menyetujui taksiran pengeluaran, hendaknya terlebih dahulku dilakukan
penaksiran pendapatan secara lebih akurat. Selain itu, harus disadari adanya
masalah yang cukup berbahaya jika anggaran pendapatan diestimasi pada saat
bersamaan dengan pembuatan keputusan tentang anggaran pengeluaran.
Dalam persoalan estimasi, yang perlu
mendapat perhatian adalah terdapatnya faktor “uncertainty” (tingkat
ketidakpastian) yang cukup tinggi. Oleh sebab itu manajer keuangan publik harus
memahami betul dalam menentukan besarnya suatu mata anggaran. Besarnya suatu
mata anggaran sangat tergantung pada teknik dan sistem anggaran yang digunakan.
Besarnya mata anggaran pada suatu anggaran yang menggunakan “line-item
budgeting”. Akan berbeda pada “performance budgeting”, “input-output
budgeting”, “program budgeting”, atau “zero based budgeting”.
2.3.2.
Tahap Ratifikasi Anggaran
Tahap berikutnya, adalah budget
ratification. Tahap ini merupakan tahap yang melibatkan proses politik yang
cukup rumit dan cukup berat. Pimpinan eksekutif (kepala daerah) dituntut tidak
hanya memiliki “managerial skill” namun juga harus mempunyai “political
skill”, “salesmanship”, dan “coalition building” yang
memadai, integritas dan kesiapan mental yang tinggi dan eksekutif sangat
penting dalam tahap ini. Hal tersebut penting karena dalam tahap ini pimpinan
eksekutif harus mempunyai kemampuan untuk menjawab dan memberikan argumentasi
yang rasional atas segala pertanyaan-pertanyaan dan bantahan-bantahan dari
pihak legislatif.
2.3.3.
Tahap Pelaksanaa Anggaran (Budget Implementation)
Setelah anggaran disetujui oleh legislatif, tahap berikutnya
adalah pelaksanaan anggaran. Dalam tahap ini, hal terpenting yang harus
diperhatikan oleh manajer keuangan publik adalah dimilikinya sistem (informasi)
akuntansi dan sistem pengendalian manajemen. Manajer keuangan publik dalam hal
ini bertanggung jawab untuk menciptakan sistem akuntansi yang memadai dan
handal untuk perencanaan dan pengendalian anggaran yang telah disepakati, dan
bahkan dapat diandalkan untuk tahap penyusunan anggaran periode berikutnya. Sistem
akuntansi yang digunakan hendaknya juga mendukung pengendalian anggaran.
2.3.4.
Tahap Pelaporan dan Evaluasi Anggaran
Tahap terakhir dari siklus anggaran
asalah pelaporan dan evaluasi anggaran. Tahap persiapan, ratifikasi, dan
implementasi anggaran terkait dengan aspek operasional anggaran, sedangkan
tahap pelaporan dan evaluasi terkait dengan aspek akuntabilitas. Apabila pada
tahap implementasi telah didukung dengan sistem akuntansi dan sistem
pengendalian manajemen yang baik, maka pada tahap pelaporan dan evaluasi
anggaran biasanya tidak akan menemui banyak masalah.
Penyusunan
APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan
pelayanan kepada masyarakat untuk tercapainya tujuan bernegara. APBD, perubahan
APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD ditetapkan setiap tahun dengan
peraturan daerah. Dalam menyusun APBD, penganggaran pengeluaran harus didukung
dengan adanya kepastian atas tersedianya penerimaan dalam jumlah yang cukup.
Pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah Pada akhir pemelajaran ini peserta
dapat memahami siklus anggaran, khususnya proses penyusunan APBD, mulai dari
penyusunan rancangan hingga penetapan APBD.
Pemerintah
Daerah perlu menyusun APBD untuk menjamin kecukupan dana dalam menyelenggarakan
urusan pemerintahannya. Karena itu, perlu diperhatikan kesesuaian antara
kewenangan pemerintahan dan sumber pendanaannya. Pengaturan kesesuaian
kewenangan dengan pendanaannya adalah sebagai berikut:
1. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan daerah didanai dari dan atas beban APBD.
2. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangan pemerintah pusat di daerah didanai dari dan atas beban
APBN.
3. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
provinsi yang penugasannya dilimpahkan kepada kabupaten/kota dan/atau desa,
didanai dari dan atas beban APBD provinsi.
4. Penyelenggaraan urusan pemerintahan
kabupaten/kota yang penugasannya dilimpahkan kepada desa, didanai dari dan atas
beban APBD kabupaten/kota.
Seluruh
penerimaan dan pengeluaran pemerintahan daerah baik dalam bentuk uang, barang
dan/atau jasa pada tahun anggaran yang berkenaan harus dianggarkan dalam APBD.
Penganggaran penerimaan dan pengeluaran APBD harus memiliki dasar hukum
penganggaran. Anggaran belanja daerah diprioritaskan untuk melaksanakan
kewajiban pemerintahan daerah sebagaimana ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
2.4. Pelaksanaan, Penatausahaan APBD
2.4.1. Pelaksanaan APBD
Semua
penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan
pemerintahan daerah dikelola dalam APBD.
Pelaksanaan
APBD meliputi pelaksanaan anggaran pendapatan, belanja, dan pembiayaan.
Penjelasan berikut ini didasarkan pada Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Keuangan Daerah.
Pengeluaran
dapat dilakukan jika dalam keadaan darurat, yang selanjutnya diusulkan dalam
rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.
Kriteria keadaan darurat ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pelaksanaan
Anggaran oleh Kepala SKPD dilaksanakan setelah Dokumen Pelaksanaan Anggaran
SKPD (DPA-SKPD) ditetapkan oleh PPKD dengan persetujuan Sekretaris Daerah.
Proses penetapan DPA-SKPD adalah sebagai berikut. APBD ditetapkan,
memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan DPA-SKPD.
Setiap
SKPD yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima pendapatan daerah wajib
melaksanakan pemungutan dan/atau penerimaan berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD dilarang
digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh
peraturan perundang-undangan. Penerimaan SKPD berupa uang atau cek harus
disetor ke rekening kas umum daerah paling lama 1(satu) hari kerja oleh
Bendahara Penerimaan dengan didukung oleh bukti yang lengkap.
Semua
penerimaan daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah. SKPD dilarang
melakukan pungutan selain dari yang ditetapkan dalam peraturan daerah. SKPD
yang mempunyai tugas memungut dan/atau menerima dan/atau kegiatannya berdampak
pada penerimaan daerah wajib mengintensifkan pemungutan dan penerimaan
tersebut.
Semua
penerimaan daerah apabila berbentuk uang harus segera disetor ke kas umum
daerah dan berbentuk barang menjadi milik/asset daerah yang dicatat sebagai
inventaris daerah. Pengembalian atas kelebihan pajak, retribusi, pengembalian
tuntutan ganti rugi dan sejenisnya dilakukan dengan membebankan pada rekening
penerimaan yang bersangkutan untuk pengembalian penerimaan yang terjadi dalam
tahun yang sama. Untuk pengembalian kelebihan penerimaan yang terjadi pada
tahun-tahun sebelumnya dibebankan pada rekening belanja tidak terduga. Jumlah
belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap
pengeluaran belanja. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja
jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam
APBD. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah
untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD. Pengeluaran belanja
daerah menggunakan prinsip hemat, tidak mewah, efektif, efisien dan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap
pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang
diperoleh oleh pihak yang menagih. Pengeluaran kas yang mengakibatkan beban APBD tidak dapat
dilakukan sebelum rancangan peraturan daerah tentang APBD ditetapkan dan
ditempatkan dalam lembaran daerah. Pengeluaran kas tersebut tidak termasuk
belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.
Pembayaran
atas beban APBD dapat dilakukan berdasarkan Surat Penyediaan Dana (SPD), atau
Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD), atau dokumen lain yang
dipersamakan dengan SPD. Khusus untuk biaya pegawai diatur bahwa gaji pegawai
negeri sipil daerah dibebankan dalam APBD. Pemerintah daerah dapat memberikan
tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil daerah berdasarkan
pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan
memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan.
Pengelolaan
anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
(PPKD). Semua penerimaan dan pengeluaraan pembiayaan daerah dilakukan melalui
Rekening Kas Umum Daerah.
Untuk
pencairan dana cadangan, pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke Rekening
Kas Umum Daerah dilakukan berdasarkan rencana pelaksanaan kegiatan, setelah
jumlah dana cadangan yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang
pembentukan dana cadangan yang berkenaan mencukupi. Pemindahbukuan tersebut
paling tinggi sejumlah pagu dana cadangan yang akan digunakan untuk mendanai
pelaksanaan kegiatan dalam tahun anggaran berkenaan sesuai dengan yang
ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan.
Pemindahbukuan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah tersebut
dilakukan dengan surat perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan
PPKD.
Penjualan
kekayaan milik daerah yang dipisahkan dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Pencatatan penerimaan atas penjualan kekayaan daerah
didasarkan pada bukti penerimaan yang sah. Penerimaan pinjaman daerah
didasarkan pada jumlah pinjaman yang akan diterima dalam tahun anggaran yang
bersangkutan sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian pinjaman berkenaan.
Penerimaan pinjaman dalam bentuk mata uang asing dibukukan dalam nilai rupiah.
Penerimaan kembali pemberian pinjaman daerah didasarkan pada perjanjian
pemberian pinjaman daerah sebelumnya, untuk kesesuaian pengembalian pokok
pinjaman dan kewajiban lainnya yang menjadi tanggungan pihak peminjam.
Pelaksanaan
pengeluaran pembiayaan mencakup pelaksanaan pembentukan dana cadangan,
penyertaan modal, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman daerah. Jumlah
pendapatan daerah yang disisihkan untuk pembentukan dana cadangan dalam tahun
anggaran bersangkutan sesuai dengan jumlah yang ditetapkan dalam peraturan
daerah. Pemindahbukuan jumlah pendapatan daerah yang disisihkan yang ditransfer
dari rekening kas umum daerah ke rekening dana cadangan dilakukan dengan surat
perintah pemindahbukuan oleh kuasa BUD atas persetujuan PPKD.
2.4.2. Penatausahaan Keuangan Daerah
Pengguna
anggaran/kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan, bendahara pengeluaran
dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah
wajib menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Penerimaan
daerah disetor ke rekening kas umum daerah pada bank pemerintah yang ditunjuk
dan dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit.
Bendahara
penerimaan wajib menyelenggarakan penatausahaan terhadap seluruh penerimaan dan
penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggung jawabnya. Bendahara penerimaan
pada SKPD wajib mempertanggungjawabkan secara administratif atas pengelolaan
uang yang menjadi tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan
pertanggungjawaban penerimaan kepada pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran
melalui PPK-SKPD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Disamping
pertanggungjawaban secara administratif, Bendahara penerimaan pada SKPD wajib
mempertanggung jawabkan secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi
tanggung jawabnya dengan menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan
kepada PPKD selaku BUD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2.5. Akuntansi
Keuangan Daerah
Pelaksanaan
otonomi daerah yang mendukung efisiensi penggunaan keuangan negara dapat
dilihat dari sisi pelaksanaan fungsi pelayanan pemerintahan yang bersifat
lokal. Sebelum otonomi daerah dilaksanakan, fungsi pemerintahan yang bersifat
lokal (seperti pembangunan prasarana yang manfaatnya hanya bersifat lokal)
sering dikelola oleh instansi Pusat. Hal ini sering memberikan dampak biaya
yang relatif lebih besar daripada apabila fungsi tersebut dilaksanakan oleh
Pemda.
Konsep
good governance di bidang dana perimbangan sebagaimana diatur melalui PP Nomor
104 Tahun 2000 paling tidak dapat dilihat dalam proses pengambilan
keputusannya. Perumusan alokasi dana perimbangan telah melibatkan pihak
universitas/pakar, kemudian sebelum ditetapkan dengan Keppres, setelah terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari DPOD yang mayoritas anggotanya berasal dari
Pemda. Kemudian selanjutnya produk dari keputusan tersebut dapat diketahui
semua lapisan masyarakat.
Implementasi
prinsip-prinsip good governance pengelolaan keuangan daerah dalam kaitannya
dengan kebijakan desentralisasi fiskal telah diatur dalam PP 105/2000 tentang
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah sebagai derivasi atau
penjelasan lebih lajut dari UU 25/1999. PP tersebut telah mengatur secara tegas
mengenai pengelolaan keuangan daerah, yaitu :
• Pengaturan : Pokok-pokok pengelolaan
keuangan daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah, sedangkan mengenai sistem
dan prosedurnya (penatausahaan) diatur dengan peraturan kepala daerah;
• Perencanaan : Penganggaran
berdasarkan pendekatan kinerja. Ke depan penganggaran harus diarahkan pada
unified budget, sehingga tidak akan ada lagi dikhotomi antara anggaran rutin
dan pembangunan yang selama ini sering tumpang tindih.
• Pelaksanaan : Penatausahaan
berdasarkan standar akuntansi keuangan pemerintah daerah yang berlaku. Selama
ini, pencatatan keuangan daerah bersifat pembukuan tunggal (single entry) dan
berbasis kas (cash basis). Ke depan akan di arahkan pada pembukuan berpasangan
(double entry) dan secara bertahap akan mengarah pada basis akrual (acrual
basis).
• Pertanggungjawaban :
Pertanggungjawaban keuangan kepala daerah terdiri dari Perhitungan APBD, Nota
Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas, dan Neraca.
Selanjutnya
PP 11/2001 tentang Informasi Keuangan Daerah yang merupakan produk hukum lain
yang diamanatkan oleh UU 25/1999, menyatakan perlunya suatu sistem informasi
keuangan daerah. Sebagai dokumen publik informasi tentang keuangan daerah dapat
diketahui oleh masyarakat secara terbuka. Untuk memudahkan masyarakat
mendapatkan informasi mengenai penggunaan dana yang diperoleh dari masyarakat
melalui pajak dan retribusi, perlu adanya suatu sistem informasi keuangan
daerah (SIKD). Melalui SIKD, informasi tidak lagi ditujukan hanya untuk
konsumsi lokal dan nasional, tetapi sudah menjadi kebutuhan dan tuntutan
internasional sebagaimana dijabarkan dalam Government Financial Statistics
(GFS) yang dikeluarkan oleh International Monetary Fund (IMF) dimana Indonesia
juga sebagai salah satu anggota
Untuk
melakukan penyusunan laporan keuangan, Pemerintah daerah menyusun sistem
akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan.
Sistem akuntansi pemerintah daerah dilaksanakan oleh Satuan Kerja Pengelola
Keuangan Daerah (SKPKD) sebagai entitas pelaporan dan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD) sebagai entitas akuntansi.
Sistem
akuntansi pemerintahan daerah meliputi serangkaian prosedur mulai dari proses
pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan
dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara
manual atau menggunakan aplikasi komputer. Proses tersebut didokumentasikan
dalam bentuk buku jurnal dan buku besar, dan apabila diperlukan ditambah dengan
buku besar pembantu.
Sistem
akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya meliputi:
1. prosedur akuntansi penerimaan
kas;
2. prosedur akuntansi pengeluaran kas;
3. prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah; dan
4. prosedur akuntansi selain kas.
Sistem
akuntansi pemerintahan daerah disusun dengan berpedoman pada prinsip
pengendalian intern sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang
pengendalian internal dan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi
pemerintahan. Sistem akuntansi pemerintahan daerah dilaksanakan oleh PPKD.
Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh PPKSKPD. PPK-SKPD mengkoordinasikan
pelaksanaan sistem dan prosedur penatausahaan bendahara penerimaan dan
bendahara pengeluaran.
Dalam
rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas pelaporan menyusun laporan
keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi anggaran;
2. neraca;
3. laporan arus kas; dan
4. catatan atas laporan keuangan.
Dalam
rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD, entitas akuntansi menyusun laporan
keuangan yang meliputi:
1. laporan realisasi anggaran;
2. neraca; dan
3. catatan atas laporan keuangan.
2.6.
Pengelolaan dan Pertanggungjawaban
Keuangan Daerah
Pengelolaan keuangan daerah
dilakukan secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan yang berlaku,
efisien, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas
keadilan dan kepatutan. APBD merupakan dasar pengelolaan keuangan daerah dalam
tahun anggaran tertentu. Ketentuan ini berarti, bahwa APBD merupakan rencana
pelaksanaan semua pendapatan daerah dan semua belanja daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi dalam tahun anggaran tertentu. Dengan demikian,
pemungutan semua penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
bertujuan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam APBD. Semua pengeluaran
daerah dan ikatan yang membebani daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi
dilakukan sesuai jumlah dan sasaran yang ditetapkan dalam APBD, sehingga APBD
menjadi dasar bagi kegiatan pengendalian, pemeriksaan dan pengawasan keuangan
daerah.
Semua penerimaan daerah dan
pengeluaran daerah dalam rangka desentralisasi dicatat dan dikelola dalam APBD.
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah yang tidak berkaitan dengan
pelaksanaan dekosentrasi atau tugas pembantuan merupakan penerimaan dan
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. APBD, Perubahan APBD, dan
Perhitungan APBD ditetapkan dengan peraturan daerah dan merupakan dokumen
daerah.
2.7. Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi
Ketentuan
mengenai penyelesaian maupun pengenaan ganti kerugian negara/daerah diatur
dalam Bab IX Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2004 tentang Keuangan Negara, Bab XI
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta dalam Bab
V Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara.
2.7.1. Penyelesaian Kerugian Daerah
Penyelesaian kerugian daerah adalah sebagai berikut :
a. Setiap kerugian negara/daerah yang
disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera
diselesaikan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau
melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan
negara, wajib menggantikan kerugian tersebut.
c. Setiap pimpinan kementrian
negara/lembaga/kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dapat segera
melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementrian
negara/lembaga/SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari
pihak manapun.
d. Setiap kerugian daerah wajib
dilaporkan oleh atasan langsung atau oleh kepala SKPD kepada
gubernur/bupati/walikota dan diberitahukan kepada BPK selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari kerja setelah kerugian daerah itu diketahui.
e. Segera setelah kerugian daerah
diketahui, kepada bendahara, pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
yang nyatanyata melanggar hukum dapat segera dimintakan surat pernyataan
kesanggupan dan/atau pengakuan bahwa kerugian tersebut menjadi tanggung
jawabnya dan bersedia mengganti kerugian daerah dimaksud.
f. Jika surat keterangan tanggung jawab
mutlak (SKTJM) tidak mungkin diperoleh atau tidak dapat menjamin pengembalian
kerugian daerah, maka gubernur/bupati/walikota yang bersangkutan segera
mengeluarkan surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara kepada
yang bersangkutan.
g. Pengenaan ganti kerugian daerah
terhadap bendahara ditetapkan oleh BPK. Apabila dalam pemeriksaan kerugian
daerah ditemukan unsur pidana, maka BPK menindaklanjutinya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
h. Pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain
ditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota. Tatacara
tuntutan ganti kerugian negara/daerah diatur dengan peraturan pemerintah.
i. Bendahara, pegawai negeri bukan
bendahara, atau pejabat lain yang telah ditetapkan untuk mengganti kerugian
negara/daerah dapat dikenakan sanksi
administratif dan/atau sanksi pidana.
j. Putusan pidana tidak membebaskan
dari tuntutan ganti rugi.
2.7.2. Pengenaan Ganti Kerugian Negara/Daerah
Tatacara
tuntutan ganti kerugian negara/daerah maupun pengenaan ganti kerugian
negara/daerah terhadap pegawai negeri bukan bendahara, atau pejabat lain diatur
dengan peraturan pemerintah yang merupakan petunjuk pelaksanaan ketiga paket
undang-undang di atas. Ketentuan tersebut diharapkan dapat digunakan oleh
pihakpihak yang terkait dalam menangani dan menyelesaikan kerugian
negara/daerah yang semakin hari semakin bertambah besar, sehingga dapat
diantisipasi terjadinya kerugian daerah, dicegah penyelesaian kerugian daerah yang
berlarut-larut, serta dipercepat proses pemulihan kerugian daerah maupun
diperkecil terjadinya kerugian daerah.
2.8. Tata Cara
Penyelesaian Kerugian Keuangan Daerah
Penyelesaian
kerugian keuangan daerah melalui upaya damai dilakukan apabila penggantian
kerugian keuangan daerah dilakukan secara tunai sekaligus dan angsuran dalam
jangka waktu selambatlambatnya 2 (dua) tahun dengan menandatangani Surat
Keterangan Tanggung jawab Mutlak (SKTJM).
Penyelesaian
kerugian keuangan daerah melalui proses Tuntutan Perbendaharaan dilakukan
apabila upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak
berhasil. Proses penuntutannya merupakan kewenangan kepala daerah melalui
Majelis Pertimbangan Tuntutan Perbendaharaan dan Tuntutan Ganti Rugi Keuangan
dan Barang Daerah (Majelis Pertimbangan). Apabila pembebanan perbendaharaan
telah diterbitkan, kepala daerah melakukan eksekusi keputusan dimaksud dan
membantu proses pelaksanaan penyelesaiannya.
Penyelesaian
kerugian keuangan daerah melalui proses Tuntutan Ganti Rugi dilakukan apabila
upaya damai yang dilakukan secara tunai sekaligus atau angsuran tidak berhasil.
BAB III
KESIMPULAN
Keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam
rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah tersebut. Pengelolaan Keuangan Daerah kemudian adalah seluruh kegiatan
yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah.
Pengelolaan Administrasi Keuangan daerah merupakan salah
satu perhatian utama para pengambil keputusan di pemerintahan, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Sejalan dengan hal tersebut, berbagai perundang-undangan
dan produk hukum telah ditetapkan dan mengalami perbaikan atau penyempurnaan
untuk menciptakan sistem pengelolaan anggaran yang mampu memenuhi berbagai tuntutan
dan kebutuhan masyarakat, yaitu terbentuknya semangat desentralisasi,
demokratisasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan pada umumnya dan proses pengelolaan keuangan daerah.
Secara garis besar, pengelolaan keuangan daerah dapat dibagi
menjadi dua bagian, yaitu manajemen penerimaan daerah dan manajemen pengeluaran
daerah. Kedua komponen tersebut akan sangat menentukan kedudukan suatu
pemerintah daerah dalam rangka melaksanakan otonomi daerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar